Thursday, 29 January 2015

Dialektika Akademik Dalam Sebuah Gambaran

 

Whizzyeducation. Mengutip Dari artikel yang terbit di Situs Resmi salah satu Guru Besar IAIN Syeh Nurjati Cirebon,  membuat kita bertanya ada sebenarnya yang terjadi di perguruan Tinggi Negri ini? mari kita Cermati kutipan beliau "Manusia dari dulu sampai sekarang, selalu tetap menjadi manusia. Makhluk mulia sekaligus makhluk hina. Makhluk pencipta sekaligus perusak. Makhluk pengabdi sekaligus pemberontak. Pemberi kabar gembira sekaligus pemberi rasa takut yang tidak berperi. Makhluk pemberi sekaligus pencuri, perampok dan ahli korupsi. Hampir tidak ada satu generasi umat manusia-pun yang terbebas dari dua pilihan ini. Dari dulu sampai sekarang, dua kekuatan ini selalu bertanding untuk saling mengalahkan.

Sangat jarang di antara manusia yang memiliki sikap untuk mau ishlah dan berada di titik tengah agar mampu memberi aransemen dalam setiap warna yang ada. Tokh, fakta selalu saja ada titik hitam pada sesuatu yang putih dan selalu tersedia titik putih pada lembaran yang hitam. Mungkin karena jarang itu pula, nabi melalui berbagai potret sahabat terhadap uswahnya selalu menekankan akan kebermaknaan ishlah dan nilai (pahalanya) yang tinggi di sisi Tuhan.

Saya melihat bahwa tidak ada satu generasipun di lingkup makhluk bernama manusia, yang mampu menjadi ciri kebaikan murni atau keburukan murni. Inilah makna lain dari kenapa Adam terpaksa melakukan thawaf –sebagai bentuk pertaubatannya dan setelah melalui proses sangsi Tuhan ia akhirnya diampuni–. Karena itu, menurut saya orang tua yang menjadi pencipta generasi sebelumnya, tidak dapat mengatakan generasinya sebagai yang terbaik. Selalu ada celah di mana di antara mereka tetap mencitrakan dirinya sebagai makhluk yang kompleks. Manusia selalu hidup dalam dua warna yang berbeda secara signifikan.

Secara teoretis, manusia berbeda dengan Malaikat yang secara homogen menjadi pengabdi. Mengabdi kepada seluruh titah Tuhan, tanpa pernah memiliki kompetensi untuk memikirkan apalagi menolak. Apapun dan dalam keadaan seperti apapun, Malaikat selalu tunduk dan patuh kepada kekuasaan Tuhan.

Manusia juga berbeda dengan Syeitan yang sejak diciptakan, selalu memberontak Tuhan. Tidak ada tempat bagi kedamaian ala alam manusia apalagi ala alam Malaikat. Semua tempat dipenuhi dengan semangat angkara murka. Semua alam dipenuhi dengan alam ketidaknyamanan. Semua situasi dibikin dan dikonstruk dalam wilayah peperangan, dan tidak menyisakan setitik jengkalpun untuk melahirkan perdamaian. Tidak ada kasih sayang yang ditumbuhkan. Malah yang terjadi budaya saling membenci. Budaya saling menyalahkan. Budaya saling mengalahkan. Budaya saling melaknat. Budaya saling mengintai dan mencari setiap celah yang memungkinkan dapat mengalahkan pihak lain.

Manusia, sejak awal diciptakan terus berada dalam hukum dialektik yang memaksa dirinya untuk menjadi makhluk yang munafik. Ia tidak pernah berdiri ajeg sebagai makhluk shaleh, sekaligus tidak pernah berdiri ajeg menjadi makhluk yang penuh dosa dan nestapa. Manusia selalu dipaksa untuk sewaktu-waktu berada pada ujung kiri –sebagai lambang kedurhakaan dan berada pada ujung kanan sebagai lambang keshalehan. Dialektika ini terus berjalan, tidak ada hentinya. Manusia selalu mempertukarkan kebahagiaan yang dianutnya dengan kesuraman yang sebetulnya tidak dikehendakinya. Padahal secara filosofi, manusia semestinya memiliki sikap rahman rahiem untuk menciptakan kedamaian.

Harus pula diakui bahwa manusia adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial. Manusia menjadi dapat hidup, menjadi dapat berguna dan bahkan menjadi dapat bernapas, ketika ada sesuatu yang lain di luar dirinya. Karena itu, menjadi benar apa yang dikatakan para sosiolog, bahwa ekosistem tertinggi di makrokosmos alam ini, ternyata terdapat pada manusia. Inilah yang menyebabkan manusia harus berbuat baik kepada yang lain. Berbuat baik kepada manusia, berbuat kepada alam terlebih berbuat baik kepada sang Pemberi.

Sebagai makhluk pribadi, manusia terkadang merasa lebih nyaman hidup dalam kesendirian. Manusia membutuhkan ruang kesunyiaan dan kegelapan, tanpa didampingi sebutir pasir dan seberkas cahaya. Manusia tidak seperti burung jalak atau burung pantai yang merasa memiliki kekuatan di saat burung-burung lain ada di sekitarnya. Di saat burung-burung lain dapat terbang bersama, menjangkau berbagai keperluan untuk kepentingan bersama. Karena itu, di tengah hiruk pikuknya, diam tanpa suara terkadang lebih berbahaya dibandingkan dengan bergeraknya.

Situasi, posisi dan sikap manusia yang demikian, telah menyebabkan kesulitan siapapun untuk mendefinisikan manusia. Manusia telah mampu menerjemahkan ribuan bahasa dalam bentuk relief dan huruf.  Manusia juga berhasil mendefinisikan trilyunan istilah, trilyunan benda dan trilyunan kaidah. Semua dianggap mudah dan mampu menerjemahkannya ke dalam bahasa dan kepentingan dirinya. Tetapi, ada satu yang tidak dapat didefinisikan oleh manusia, yakni manusia itu sendiri.

Saya kira apa yang terjadi hari-hari ini di IAIN, telah menunjukkan jati diri yang sesungguhnya bahwa kami yang ada di kampus ini, masih tetap menjadi manusia. Sebab betapapun baik dan hebatnya langkah yang kami lakukan dan disusun dalam rancang bangun yang cukup menjanjikan untuk menatap masa depan kampus yang lebih baik dan lebih cerah, tetap ada yang memahaminya sebagai proses yang terus menjadi dan jauh dari kesempurnaan.

Misalnya, mungkin dalam dua minggu ini, kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon akan tumbuh menjadi kampus terhebat dalam lingkup kampus berstandar internasional karena kecanggihannya dalam akses IT. Puluhan miliar telah disusun dan dibuat tinggal menunggu waktu untuk operasionalisasi program. Melalui penggunaan alat ini, kampus IAIN Syekh Nurjati membuka diri dalam lingkup percaturan global dan hampir sulit memperoleh bandingannya dengan perguruan tinggi lain di Jawa Barat. Tapi hal ini luput dari perhatian apapun. Termasuk dari media massa. Kita berharap media mengambil bagian penting bahwa peristiwa yang positif dapat menjadi berita yang baik dan bukan sebaliknya.

Berkait dengan tata kerja dan tata kelola kampus, tentu terdapat sejumlah prioritas kerja mengingat adanya perubahan status yang telah menyita waktu dan mempersempit diri ke ruang publik yang lebih luas. Ada proses internalisasi agar percepatan pengembangan kampus ini dapat berjalan lebih cepat. Perubahan status ini, telah memaksa kami dalam sistem birokrasi yang tersedia, untuk mengambil bagian-bagian yang lebih emergen sekaligus efisien. Karena itu, tidak benar misalnya kalau disebut tidak pernah ada rapat senat, sebab paling tidak setiap komisi telah melakukan rapat kerja masing-masing dua kali. Harus diakui, prestasi-prestasi akademik dan geliat ilmiah sudah mulai banyak bermunculan. Berbagai pelatihan dan berbagai kegiatan akademik telah cukup membelalakan mata telah juga disusun dalam mekanisme kerja yang lebih kongkret. Kegiatan semacam ini juga tumbuh bak jamur di musim hujan di berbagai lini dan bagian kampus.

Saya pikir intelektualisme harus dibangun di atas kesadaran diri bahwa kita mesti dapat hidup dalam ragam perubahan yang dinamis. Setiap pemimpin pasti memiliki tipikalnya sendiri dan pasti akan sesuai dengan kepentingan jaman yang mengitarinya. Prinsip bahwa Tuhan tidak selalu memberi sesuatu yang diinginkan, tetapi Tuhan selalu memberi sesuatu yang dibutuhkan, juga berlaku dalam sistem kepemimpinan. Pemimpin tidak pernah dapat dididik dan dibentuk. Tetapi yang pasti, setiap pemimpin selalu hadir untuk kepentingan jamannya. Inilah saya kira, kenapa beberapa langkah yang ditempuh kami hari ini di IAIN masih juga dianggap belum maksimal.

Akhirnya, apapun itu hasilnya, biarlah semua itu menjadi bagian penting kami dan akan kami balikkan ke sebuah titik di ranah kami. Tidak elok kalau soal ini, menjadi konsumi apalagi menjadi pertentangan publik yang mengideologis. Tentu dengan berharap bahwa tulisan ini menjadi akhir segala polemik."

No comments:

Post a Comment