Thursday, 29 January 2015

Alumni Madrasah di Tengah Pergulatan Politik Pendidikan


Alumni Madrasah di Tengah Pergulatan Politik Pendidikan

Oleh :
Prof Dr Cecep Sumarna

Eksistensi alumni madrasah telah bernafas lega. Mereka tidak lagi diidentikkan dengan  kaum pinggiran, tetapi, kini mereka telah berada dalam posisi sejajar dengan alumni pendidikan lain dan bahkan dengan profesi lain. Alumni madrasah telah mampu berdiri dalam psosisi yang sama dan tidak lagi harus merasa rendah diri ketika harus melakukan komunikasi dan pergaulan sehari-hari dengan lintas masyarakat yang beragam.

Pernyataan di atas, tentu bukan hanya karena alumni madrasah tidak lagi identik dengan peci dekil, sepatu tanpa semir atau baju putih kumel tanpa strika, tetapi, kini mereka telah melintasi berbagai wilayah keumatan dan telah menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Dalam kasus tertentu, peran alumni madrasah bahkan telah memasuki dimensi-dimensi besar di tengah umat yang hampir tidak mungkin dimiliki alumni pendidikan lain.

Alumni madrasah, saat ini tidak lagi hanya menjadi pemimpin upacara tahlilan, upacara adat empat dan tujuh bulanan serta kendurian kematian, tetapi, banyak di antara mereka telah menjadi eksekutif penyelenggara kegiatan ilmiah dalam berbagai skala. Tidak sedikit pula di antara mereka yang mampu menjadi penyelenggara seminar, menjadi orator politik, saksi ahli dan penasehat politik pada percaturan lokal, regional, nasional dan bahkan internasional.

Peran-peran tadi, banyak diisi mereka yang mentahbiskan dan ditahbiskan bahwa dirinya adalah alumni dan sekaligus pengelola madrasah. Suatu lembaga pendidikan yang kebanyakan didirikan atas keluh kesah dan cucuran keringat umat. Mereka kini telah dipandang memiliki kemampuan lebih tidak hanya dalam soal-soal agama, tetapi dalam soal-soal yang sebelumnya dianggap asing-pun kini dimiliki alumni madrasah.   Alumni madrasah yang datang dan pergi ke luar negeri untuk berbagai kepentingan, kini bukan lagi menjadi sesuatu yang asing.

Hikmah Reformasi Politik

Menarik untuk dicatat, bahwa meningkatnya peran para alumni madrasah mulai terasa ketika era reformasi bergulir.  Era ini telah mendorong lahirnya percepatan (akselerasi) peran para penyelenggara Pendidikan Agama yang eksistensinya kebanyakan dari sistem Madrasah– ke percaturan “tengah birokrasi negara” yang sebelumnya dipandang dan dianggap asing.

Setelah reformasi ini bergulir, tidak sedikit pula di antara mereka yang berposisi sebagai pengambil kebijakan negara di legislatif. Kalau coba dihitung dalam skala nasional, entah berapa ribu mereka yang sebelumnya berprofesi sebagai guru madrasah swasta misalnya, atau mereka yang sebelumnya menjadi penyelenggara pendidikan agama pinggiran di sebuah madrasah dengan lantai tanpa alas keramik, kini menjadi legislator pada berbagai tingkatannya baik di MPR, DPD, DPR, DPRD I dan DPRD II. Belum kalau berbicara soal posisi mereka di eksekutif pemerintahan mulai dari pusat sampai kepada pemerintahan daerah.

Di ranah ini, alumni madrasah seperti sedang menunjukkan perlawanan terhadap eksistensi historisnya yang hanya berfungsi  dan berposisi sebagai vote getter kekuatan politik.   Peran yang cukup lama disandang alumni madrasah ini, secara perlahan ditinggalkan mereka. Alasan penting yang cukup mencolok, tampaknya karena peran dimaksud dianggap hanya akan dan telah menempatkan mereka sebagai komoditas –yang dapat diperdagangkan dan diperjualbelikan— untuk kekuatan politik tertentu tanpa memiliki kekuatan apapun untuk mempengaruhi kebijakan politik negara.

Posisi mereka saat ini, dapat dipandang antik karena banyak di antara mereka yang mampu mengalahkan kepandaian politikus yang dididik di dunia pendidikan politik, atau dibina cukup lama dalam praksis politik. Di lain sisi harus juga disebutkan bahwa alumni Madrasah cukup kuat memiliki daya magnetik untuk kepentingan politik karena menguatnya daya bargaining mereka dalam mengambil kebijakan-kebijakan politik negara. Alasan sederhananya karena mereka secara sosiologis memiliki kekuatan pada tingkat akar rumput yang cukup solid dan memiliki pengikut yang juga cukup determinan.

Kesempatan melakukan artikulasi politik dalam konteks sosio antropologis ini, sekali lagi baru terjadi ketika era reformasi muncul. Hikmah ini, secara tidak langsung akan menciptakan tatanan budaya baru, di mana track politik harus mengabdi sepenuhnya pada kepentingan akar rumput.

Pengembangan Madrasah

Peran penting yang dimiliki dan dimainkan alumni Madrasah dalam birokrasi negara yang telah banyak dihuni tadi, pasti memiliki efek multiplier yang cukup tinggi dalam pengembangan pendidikan.  Salah satu efek dimaksud adalah meningkatnya harga diri dan menguatnya daya bargaining alumni madrasah dengan alumni-alumni lain. Kondisi ini harus dimanfaatkan betul agar efeknya tidak hanya meningkatkan pendapatan ekonomi yang bersipat sensual, tetapi sudah penting untuk diukur dalam ranah yang lebih substantif. Semua itu, pada gilirannya, akan menempatkan mereka yang berlabel madrasah dalam lokus yang selalu menarik bukan hanya untuk dikaji, tetapi, diajak terlibat dalam social order,  untuk menentukan kebijakan pemerintah ke ranah yang lebih strategis.

Karena itu, meningkatnya peran-peran alumni Madrasah yang cukup signifikan di atas, tidak serta merta harus mengakhiri pentingnya melakukan diskusi tentang peran yang mesti dimainkan mereka hari ini dan ke dapan. Diskusi itu, dibutuhkan menyangkut pentingnya melakukan percepatan dalam bidang lain, khususnya dalam meningkatkan kompetensi  mereka yang sampai sekarang selalu menuai kritik yang cukup pedas. Kritik lainnya adalah, meningkatnya jumlah alumni Madrasah ke ranah birokrasi Negara, tidak secara otomatis mengurangi budaya birokrasi yang cenderung koruptif, kolutif dan nepotistik. Dalam kasus tertentu, alumni madrasah tadi bahkan seolah menjadi bagian penting dari penguatan budaya KKN.

Catatan kritis lain yang terus ditujukan para kritikus terhadap problem di atas adalah pertanyaan dasar tentang kredibilitas Kementerian Agama dalam pengelolaan pendidikan yang ada di bawah jurisdiksinya. Kritik dimaksud ditujukan pada lambannya kementerian dalam melakukan bargaining dengan kementerian lain untuk melakukan pemberdayaan sekaligus pemerataan kesempatan kepada seluruh SDM tersedia di lingkup madrasah tanpa harus membedakan mana Madrasah Negeri dan mana Madrasah Swasta.

Harus jujur diakui bahwa Kementerian ini, secara kebetulan terlalu berat menanggung beban pengelolaan akibat terlampau banyaknya lembaga pendidikan yang didirikan tokoh-tokoh masyarakat yang sebelumnya sulit dijangkau pemerintah. Padahal tugas utama lahirnya kementerian agama, tidak terletak pada pengembangan pendidikan, tetapi, justru pada upaya membangun hubungan keberagamaan dan penguatan sipat keberagamaan masing-masing pemeluk agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Kalaupun ada lembaga pendidikan di bawahnya, lebih karena untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan pada tugas pokok dimaksud.

Sementara itu, harus juga diakui bahwa perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan swasta ini, masih sangat kurang. Misalnya kesempatan kepada mereka untuk menjadi PNS yang telah mengabdi puluhan tahun di Madrasah-madrasah swasta yang sampai sekarang belum memiliki payung hukum pengangkatan. Kritik ini harus segera diantisipasi dengan langkah nyata yang dapat dirasakan umat. Karena peran dan fungsi madrasah swasta untuk ikut mencerdaskan bangsa tidak relevan lagi untuk diragukan. Belum kalau berbicara soal rendahnya bargaining dimaksud dalam soal besaran biaya yang dialokasikan per satuan pendidikan yang masih mengangga antara pendidikan madrasah dengan pendidikan umum lainnya.

Haruskan Disatuatapkan

Berbagai fenomena di atas, telah turut pula memunculkan suatu asumsi bahwa pengelolaan pendidikan seharusnya legawa (rela) dilepaskan Kementerian Agama mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai Universitas (seperti UIN) ke Departemen Pendidikan Nasional. Tuntutan semacam ini, mestinya tidak harus dijawab dengan langkah emosional, tetapi harus difahami sebagai upaya transvaluasi agar penataan pendidikan di Indonesia, dapat dilakukan dalam satu wadah yang sama untuk tujuan yang sama dengan hasil yang mudah-mudahan juga sama.

Kelompok terakhir ini mengasumsikan bahwa untuk saat ini, madrasah pada hakikatnya tidak berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Di dalam pendidikan madrasah dikelola bidang-bidang yang sama dengan lembaga pendidikan lain. Karena itu, Madrasah wajib menjawab dengan cara nyata dengan menunjukkan kinerjanya agar tampak berbeda dalam pengelolaannya dengan lembaga pendidikan umum.

Alasan lainnya adalah, saat ini Kementerian Agama juga tidak lagi memikul beban politis-ideologis,  karena secara sosiologis, tampaknya sudah tidak ada lagi kekhawatiran tercerabutnya nilai dan pesan-pesan agama dalam praksis pendidikan. Artinya, anggapan yang mengandaikan bahwa lembaga pendidikan lain –misalnya yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional–  mengembangkan prinsip sekularisme,    akan tertepis dengan sendirinya.

Keharusan menghilangkan kecemasan dan kekhawatiran itu, salah satunya didorong dengan berlakunya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP Nomor 19 tentang HAM, yang telah menjamain tumbuh berkembangnya nilai-nilai agama dalam pendidikan formal; baik yang ada di sekolah umum apalagi di lingkup madrasah. Artinya, tuntutan semacam ini mesti dijawab dengan kelebihan lain yang dimiliki lembaga pendidikan di bawah jurisdiksi kementerian agama dengan kekhasan yang secara langsung dapat diukur kebermanfaatan-nya di tingkat umat, jika keinginan untuk menyatu atapkan pendidikan tidak mungkin dilakukan.

Usaha menghilangkan rasa khawatir dan cemas yang berlebihan itu, memiliki momentum lagi, sebab secara akademik, tampaknya melalui berbagai UU dan berbagai peraturan di atas, jika negara Indonesia menjadi Negara sekular sekalipun, masalah Pendidikan Agama yang bermuatan pesan-pesan spiritualitas sudah hampir pasti dijembatani peraturan perundang-undangan dengan produk legislator (anggota DPR/MPR) yang kini mulai banyak dihuni alumni Madrasah. Kondisi itu diperkuat dengan kenyataan historis– kebetulan banyak di antara mereka itu yang ahli dalam bidang-bidang keagamaan yang patut dianggap memiliki komitmen tinggi terhadap nilai-nilai agama. Semangat penyatuatapan itu, tentu ditujukan agar tidak lagi terjadi dikotomi antara lembaga pendidikan Islam dengan lembaga yang tidak lagi dipandang Islami.

Indikator ke arah itu, sebenarnya telah terasa ketika misalnya masyarakat Muslim Indonesia menyaksikan munculnya UIN yang tidak lain merupakan metamorfosis dari IAIN atau STAIN yang secara sengaja menempatkan kata Islam sebagai label, sekaligus mungkin sebagai komoditas. Label ini, tentu tidak identik dengan semangat mendiskreditkan perguruan tinggi umum baik negeri maupun swasta, seolah-olah mereka bukan merupakan perguruan tinggi yang tidak Islami. Kampus seperti ITB dan UI serta PTU lain di bumi pertiwi ini, telah banyak memunculkan produk pakar santri dengan komitmen yang tinggi juga terhadap Islam dan keumatan.

Hal sebaliknya terjadi di PTA. Di lembaga pendidikan tinggi ini telah banyak pula dihuni pakar yang sebelumnya mungkin abangan, dengan pola pikir yang mungkin juga sekular, tetapi, tetap diusahakan untuk disantrikan dengan produk akhir, mereka memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam dan keumatan.

Karakter yang tampak diametral itu, sekali lagi kini mulai sirna. Lembaga pendidikan baik umum  maupun lembaga pendidikan Islam, sama-sama telah menempatkan Islam sebagai core penting dalam kurikulum pendidikan. Karena semua jenis dan jenjang  pendidikan harus mengabdi kepada semangat UU pendidikan. Tujuannya agar setiap output pendidikan memiliki kemampuan untuk menjadi Khalifatullah fi al Ardl. Rumusan ini mengasumsikan bahwa untuk menjadi khalifah Tuhan di bumi, manusia tidak cukup hanya dengan bekal agama, tetapi juga butuh ilmu lain agar tidak mudah tertipu. Hal yang sebaliknya juga berlaku, di mana ilmu tanpa iman, tanpa agama, dipastikan akan menjadi penipu. Rumusan semacam ini, telah berlaku dalam dunia pendidikan baik umum maupun agama.

Di letak ini, sekali lagi peran alumni madrasah mempunyai posisi strategis khususnya dalam mengintegrasikan nilai-nilai ilahiyah dalam seluruh kegiatan pendidikan tanpa harus dibedakan oleh wadah pengelolaan. Implikasi dari semua penjelasan di atas, pada akhirnya akan mengubah makna pendidikan itu sendiri dengan jalan melakukan reposisi pendidikan Islam dalam satu sistem pendidikan nasional dengan sejumlah asumsi mulai dari yang filosofis sampai kepada yang praksis.

Asumsi tersebut adalah: Pertama. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar utama pendidikan nasional harus dipandang final dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid). Hal ini mengindikasikan bahwa secara filosofis, tidak akan pendidikan di Indonesia yang tidak mengandung semangat ketasliman, karena sila pertama dari Pancasila berbicara soal ketuhanan yang Esa. Kedua. Pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia) tercakup secara utuh dalam sistem pendidikan nasional Nomor 20 tahun 2003 dan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen serta peraturan pendidikan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai keagamaan (Islam) telah memasuki wilayah praksis dalam bentuk UU dan Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan pendidikan. Ketiga. Pendidikan secara umum mendorong terjadinya pengembangan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat juga tercantum dalam berbagai konstitusi negara, khususnya dalam berbagai peraturan pendidikan yang telah ditetapkan.

Secara konseptual dengan demikian, Pendidikan Islam –yang semula hanya dikonstruk di Madrasah ternyata akan berlaku dalam pendidikan umum lainnya. Dengan bahasa lain, suatu hari nanti sulit dibedakan mana produk madrasah dan mana produk sekolah umum. Karena itu, menjadi benar satu asumsi yang menyebutkan bahwa konsep pendidikan Islam sebenarnya jauh lebih universal karena secara akademik rumusan ini tidak dapat dibatasi oleh batas negara dan bangsa. Ditinjau dari posisinya dalam konteks nasional Indonesia, konsep pendidikan Islam, sampai sekarang masih berada di ranah de facto karena ia masih menjadi subsistem pendidikan nasional, meski secara formal posisi itu, sudah hampir tidak ada. Kondisi ini seharusnya sudah mulai menggeser cor pendidikan Indonesia ke wilayah pendidikan bergaya madrasah, meski tidak harus lagi bernama madasah atau identik dengan kementerian agama. Sebab dalam posisi sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen dan tidak menjadi alat ukur untuk segala hasil yang diraih.

Secara filosofis (ontologis dan aksiologis), pendidikan Islam selalu dapat dipandang relevan dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Bahkan secara sosiologis, pendidikan Islam sejatinya merupakan aset nasional. Karena itu, posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional, dalam fungsinya ia bukan hanya sekedar berfungsi sebagai suplemen, tetapi harus dipandang sebagai komponen substansial. Artinya, pendidikan Islam dapat menjadi komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional hari ini dan ke depan. Keberhasilan pendidikan Islam, dengan bahasa lain dapat dipandang sebagai keberhasilan pendidikan nasional. Begitu pula sebaliknya.

Peninjauan kembali peranan Kementerian Agama sebagai pengelola pendidikan, pada akhirnya memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya, serta memfokuskan diri pada pertimbangan pedagogis dan akademis murni demi keutuhan system ketatanegaraan Indonesia.

Secara pedagogis dan akademik, langkah tadi memang tepat dilakukan dengan pertimbangan bahwa situasi dan kondisi sosio-kultural-politik Indonesia kontemporer sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah dan bahkan hampir sulit dibedakan. Di mana keduanya, hampir sulit untuk dipisahkan, karena satu sama lain telah singkretisme yang saling melengkapi.

Kalau para tokoh nasionalis Muslim di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian halnya di waktu sekarang. Bukan hanya karena Pancasila sebagai ideologi bangsa, sudah dianggap menjadi common platform yang final, tetapi sejumlah aturan praksisnyapun yang terbentuk  ke dalam ranah UU dan PP khususnya soal pendidikan yang sangat ramah terhadap aspirasi kemusliman. Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa kementerian Agama sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam, tampaknya sudah tidak terlalu relevan lagi untuk dipertahankan.

Problemnya, akankah itu terjadi. Ya mungkin soal waktu atau soal kelapangan hati nurani. Atau mungkin soal keberanian kita melakukan lompatan yang kuat dalam menata dunia pendidikan. Kalau itu terjadi, mengapa tidak … mari kita buktikan dalam peta sejarah ke depan yang apapun langkah dan hasilnya, diperkirakan dapat memperkuat posisi dan eksistensi mereka yang menyebut diri sebagai alumni  madrasah. Akhirnya … ya wallahu ‘alam

No comments:

Post a Comment